Selasa, 07 Februari 2012

Blues Clues : SEBUAH PETUNJUK ? (Tontonan Yang Jadi Tuntunan)

Sebuah tulisan yang tercecer dan pernah dimuat di
Buletin KIAS LPMP DKI JAKARTA
volume 3 nomor 4 bulan Juni 2006

Blues Clues : SEBUAH PETUNJUK ?
(Tontonan Yang Jadi Tuntunan)


Oleh : Nina Ratna Suminar
Saat menjadi Staf Kajian Mutu Pendidikan LPMP DKI Jakarta


Coba sebutkan huruf yang ada di kotak mainan ini secara berurutan dan nyanyikan A,B,C,D, E,F,G,H,I,J,K,L,M…”  sambil menari JOE memberi contoh gerakan yang harus diikuti oleh anak-anak dan tiba-tiba ada jejak kaki anjing berwarna biru pada kotak huru I diiringi suara musik.  “Oh ternyata blue memberi tahu ada petunjuk di kotak tersebut ayo kita lihat petunjuk apakah itu ?”  setelah dibuka ada tulisan binatang dan tumbuhan. “hmm…berarti kita harus mencari binatang dan tumbuhan yang diawali oleh huruf I “.  Dimana kita akan menggambarkan binatang dan tumbuhan itu? Hening sesaat “Ya ! ke kursi berpikir untuk memikirkan dimana kita bisa menemukan binatang dan tumbuhan tersebut ?” “Ya….di kebun ! sambil menari dan bernyanyi JOE mengajak penonton ke kebun mencari binatang dan tumbuhan yang dimaksud.  Tiba-tiba muncul perwinkel kucing kecil yang mungil menemani JOE bermain di kebun untuk mencari itik, ikan, iguana dan ilalang sambil terus berinteraksi dengan penonton.

Itulah sepenggal cuplikan acara BLUES CLUES  hiburan edukatif produksi Nick Jr yang ditayangkan dua kali sehari setiap pagi di stasiun televisi GLOBAL.  Acara yang dipandu oleh seorang lelaki muda bernama JOE dengan tampang babyface, berpakaian kaos lengan panjang motif abstrak warna cerah sangat digemari anak-anak.  Ekspresi JOE dengan wajah jenaka dan dengan kelincahannya bergerak, berlari dan menari sambil bernyanyi, mengajak penonton (terutama anak-anak) untuk mencari jejak kaki blue seekor anjing kecil berwarna biru pemberi petunjuk mengenai apa yang ingin dan bisa dilakukan dalam memecahkan masalah.

Sumber Belajar
Penggunaan sumber belajar disesuaikan dengan tingkat kebutuhan akan pengulangan-pengulangan untuk menguasai kemampuan maupun keterampilan tertentu.  Montesorri seorang tokoh pendidikan anak menekankan bahwa ketika anak bermain ia akan mempelajari dan menyerap segala sesuatu yang terjadi di lingkungan sekitarnya.

Hal inilah yang dikenalkan dalam acara blues clues bahwa untuk mempelajari sesuatu bisa diperoleh dari lingkungan sekitar.  Anak dilatih untuk menceritakan tentang kejadian yang dilihat, didengar, atau hal-hal lain yang dirasakan dalam lingkungannya dengan menggunakan alat permainan sederhana dan gambar-gambar berwarna cerah yang sangat ekspresif.

Variasi Menyampaikan Materi
Variasi dalam menyampaikan materi yang ditunjukkan oleh JOE dalam blues clues dibagi menjadi dua macam, yaitu variasi gaya menyampaikan materi dan variasi media.
1.     Variasi  Menyampaikan Materi
Variasi gaya dalam menyampaikan materi yang ditunjukkan oleh JOE dalam blues and clues  meliputi variasi suara, variasi gerakan anggota badan, dan variasi perpindahan posisi.  Bagi penonton (terutama anak-anak), variasi gaya mengajar yang sangat energik, antusias dan bersemangat diharapkan memiliki relevansi dengan penonton, memberi stimulasi, menarik perhatian anak-anak dan menolong anak dalam menerima materi pelajaran.

Variasi dalam gaya menyampaikan materi yang ditunjukkan oleh JOE dapat dibedakan sebagai berikut :
a.    Variasi suara
Suara JOE ketika memandu acara blues clues bervariasi dalam intonasi, nada, volume dan kecepatan.  Bahkan JOE dapat mendramatisasi suatu keadaan, menunjukkan hal-hal yang dianggap penting, berbicara secara pelan, atau berbicara dengan nada tinggi.

b.  Penekanan
Untuk memfokuskan perhatian penonton (anak-anak) pada suatu aspek yang penting atau aspek yang penting atau aspek kunci,  JOE selalu menggunakan “penekanan secara verbal”, misalnya “Perhatikan baik-baik dimana jejak kaki blue berada?”  Penekanan yang ditunjukkan oleh JOE selalu menggunakan gerakan anggota badan, seperti sambil menari, melompat dan berlari ketika menyampaikan sesuatu.

c.    Pemberian Waktu (pausing)
Untuk menarik perhatian penonton, JOE selalu mengubah suasana dari yang bersuara menjadi sepi, dari suatu kegiatan menjadi tanpa kegiatan atau diam, dan dari akhir bagian pelajaran ke bagian berikutnya.  Misalnya : “dimana kita akan menggambarkan petunjuk blue ? “hening sesaat…”Ya ! di buku catatan ! atau yang lain “ setelah kita gambar petunjuk blue sekarang menuju kemana kita ?...diam sesaat “ya ke kursi berfikir ! sambil menari JOE berjalan menuju kursi berfikir.




d.  Gerakan anggota badan (gesturing)
Dalam memandu acara blues clues JOE menunjukkan variasi dalam mimik, yaitu ekspresi wajah tertawa, cemberut, kaget atau tersenyum dan gerakan kepala atau badan yang sangat lincah dan jenaka.  Hal ini sangat bermanfaat untuk menarik perhatian penonton, terutama dalam menyampaikan arti pembicaraan dari materi yang diajarkan.

e.   Pindah posisi
Perpindahan posisi yang dilakukan oleh JOE dari posisi berdiri kemudian berubah menjadi posisi duduk merupakan variasi yang dilakukan untuk menarik perhatian penonton agar tidak menjemukan.

Dari uraian di atas dapat dikemukakan bahwa sistem penyampaian materi yang digunakan oleh JOE mengacu pada pengembangan bahasa secara intensif, yaitu dalam mengenalkan bentuk, warna, angka serta berbagai kosa kata yang sederhana dan mudah dimengerti oleh anak dengan menggunakan gerakan dan nyanyian yang bervariasi, sehingga membuat anak tidak bosan sekalipun mereka sudah mengetahuiya.

Kiranya tak salah kalau orang tua yang mempunyai balita atau para guru jenjang pendidikan dasar mencoba meniru dan mengembangkan  yang dilakukan oleh JOE dalam membimbing dan atau mengajar anak-anak dengan melakukan kegiatan atau permainan yang menyenangkan.  Permainan yang menyenangkan diharapkan meningkatkan aktivitas sel otak anak yang selanjutnya keaktifan sel otak akan membantu memperlancar proses pembelajaran anak.

2.        Variasi Media
Tayangan blues clues di televisi menggunakan media pandangan dan media dengar sebagai sarana pembelajaran.  JOE berusaha memanfaatkan media yang bervariasi dari satu media ke media lain, sehingga membuat perhatian penonton (terutama anak-anak) menjadi lebih tinggi, memberi motivasi untuk belajar, mendorong berfikir, dan meningkatkan kemampuan belajar.

a.   Variasi Media Pandang
Penggunaan media pandang dapat diartikan sebagai penggunaan alat dan bahan ajar khusus untuk komunikasi seperti buku, majalah, peta, film, gambar, model, demonstrasi, dan lain-lain.  Hal inilah yang ditunjukkan dalam blues clues yaitu menggunakan media pembelajaran yang menarik dengan memanfaatkan bahan-bahan sederhana seperti kardus, balok kayu, botol minuman, yang berwarna cerah disulap menjadi alat peraga untuk mengenal huruf, angka, bentuk, dll.


Penggunaan yang lebih luas dari alat-alat tersebut memiliki keuntungan :
·         Membantu secara konkret mengenai konsep berpikir
·         Perhatian anak didik menjadi lebih tinggi dapat membuat hasil belajar yang riil akan mendorong kegiatan mandiri anak didik
·         Mengembangkan cara berfikir berkesinambungan, seperti halnya dalam film
·         Memberi pengalaman yang tidak mudah dicapai oleh alat  yang lain

b.   Variasi Media Dengar
 Variasi dalam penggunaan media dengar dikombinasikan dengan media  pandangan.  Seperti yang digunakan oleh JOE dalam blues clues, yaitu  memperdengarkan pembicaraan anak-anak (dalam segmen surat kita), rekaman suara hujan, rekaman musik, rekaman drama, bahkan rekaman suara anjing, kucing, sapi, kuda, dan lain-lain yang semuanya itu memiliki relevansi dengan materi yang disampaikan.

Dengan demikian variasi mengajar sangat diperlukan proses pembelajaran.  Komponen-komponen variasi mengajar seperti variasi gaya mengajar dan variasi media harus dikuasai oleh guru untuk meningkatkan semangat belajar peserta didik.

Pengalaman adalah guru terbaik
Pengalaman adalah guru bisu yang tidak pernah marah, pengalaman adalah guru tanpa jiwa namun selalu dicari oleh siapa pun juga.  Belajar dari pengalaman adalah lebih baik daripada sekedar bicara dan tidak pernah berbuat sama sekali.  Belajar adalah kenyataan yang ditunjukkan dengan kegiatan fisik.

Oleh karena itu the process of learning is doing, reacting, underground, experiencing.  The product of learning are all achieved by the learner through his own activity.  (H>C. Witherington dan WH. Burton, 1986:57)

Dunia anak-anak adalah dunia yang menyenangkan dan paling menentukan bagi masa depan mereka.  Aneka hiburan di masa kecil dipercaya akan menentukan perkembangan kepribadiannya kelak.  Suka atau tidak suka, kita harus mengakui bahwa televisi memberi pengaruh paling besar terhadap perkembangan anak disamping sekolah, orang tua dan lingkungan pergaulannya.  Hal itu pula yang dirasakan oleh Rina Harjanti staf Kajian Mutu Pendidikan LPMP DKI Jakarta.  Ibu dari empat orang anak : Zaki (8 tahun), Akmal (6 tahun) dan Faiz (1 tahun) mengemukakan bahwa blues clues  adalah tayangan alternatif diantara minimnya tayangan pendidikan yang menghibur untuk anak-anak.  Setiap pagi sebelum berangkat ke kantor, ditengah kesibukannya mempersiapkan sarapan dan perlengkapan anak untuk sekolah ia membiarkan anak-anaknya asyik menonton blues clues sambil menirukan gerakan dan nyanyian JOE dengan gembira.  Karena setiap hari setelah bangun tidur blues clues  menjadi menu utama Akmal sebelum berangkat ke sekolah.  Dengan senang menonton blues clues  ternyata membuat Akmal memiliki kebiasaan baru, yaitu setiap kali diajak bepergian tak lupa selalu membawa buku catatan kecil dan pensil berwarna persis seperti milik JOE.  Dengan buku catatannya Akmal mencoba mencatat atau menggambar hal-hal menarik yang dilihatnya selama dalam perjalanan.  Misalnya ketika hari libur tamasya ke kota naik busway melihat air mancur, gedung bertingkat, pohon, sepeda motor dan sebagainya Akmal langsung menggambar busway dan pohon dengan pensil warna merah, di lembar berikutnya mencoba menulis kata b u s w a y.  Setelah sampai di rumah dengan bangga Akmal menunjukkan buku catatannya pada teman bermainnya, dan ternyata kebiasaan menggambar dan menulis juga dilakukan oleh teman-teman sepermainannya.  Rupanya blues clues  telah menjadi tontonan yang bisa menjadi tuntunan bagi anak-anak untuk menjadikan kebiasaan membaca dan menulis sebagai bagian dari aktivitas bermain.  Apabila kebiasaan ini dilatih dan dibimbing oleh orang tua dan guru di sekolah maka akan menjadi bekal yang sangat berharga bagi anak di masa mendatang.  Kiranya tak berlebihan kalau kita mencamkan kata-kata bijak dari J.K Rowling berikut ini :
Start by writing the things that you know :
Write about your own experiences and
Your own feelings.  That’s what I do
(J.K. Rowling)

Selasa, 24 Januari 2012

Implementasi Pendidikan Karakter

Dalam Undang Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025, diamanatkan bahwa setiap upaya pembangunan harus selalu dipikirkan keterkaitan dan dampaknya terhadap pengembangan karakter bangsa.  Hal ini dapat dilihat dari misi pembangunan nasional yang memposisikan pendidikan karakter sebagai misi pertama dari delapan misi guna mewujudkan visi pembangunan nasional, yaitu terwujudnya karakter bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, dan bermoral berdasarkan Pancasila yang dicirikan dengan watak dan perilaku manusia dan masyarakat Indonesia yang beragam, beriman, dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi luhur, bertoleran, bergotongroyong, berjiwa patriotic, berkembang dinamis, dan berorientasi IPTEK.
Sejalan dengan semakin meningkatnya tuntutan masyarakat terhadap akuntabilitas sekolah, maka meningkat pula tuntutan terhadap para kepala sekolah. Mereka diharapkan mampu melaksanakan fungsinya baik sebagai manajer dan leader.
Untuk meningkatkan kemampuan kepala sekolah dan tenaga kependidikan yang lain, pemerintah Indonesia telah menunjukkan good will, dengan adanya Kebijakan Menteri Pendidikan Nasional mengenai program penguatan kemampuan Kepala Sekolah. Program tersebut merupakan program yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan Kepala Sekolah dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya.  Ada tiga hal yang menyebabkan program diklat penguatan kemampuan Kepala Sekolah perlu dikembangkan.  Pertama, adanya tuntutan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 13 Tahun 2007 tentang Standar Kepala Sekolah/Madrasah, yang mengandung amanat bahwa Kepala Sekolah merupakan pimpinan tertinggi di sekolah dituntut memiliki lima dimensi kompetensi, yaitu dimensi kompetensi kepribadian, manajerial, kewirausahaan, supervisi, dan sosial, sehingga secara bertahap dan berkesinambungan kompetensi kepala sekolah harus ditingkatkan.  Kedua, adanya tuntutan masyarakat yang meinginginkan adanya peningkatan kualitas pembelajaran dalam rangka menghasilkan lulusan yang mampu bersaing, tidak hanya di tingkat local dan nasional melainkan juga di tingkat internasional.
Masyarakat menginginkan peningkatan kualitas pembelajaran tidak hanya dalam rangka menyiapkan peserta didik mengikuti ujian nasional, melainkan juga membuat peserta didik memiliki kecakapan hidup seperti kecakapan berpikir kritis, inovatif, dan kreatif.  Ketiga, adanya kebijakan Menteri Pendidikan Nasional, bahwa di masa mendatang pengembangan pembelajaran difokuskan pada pengembangan pembelajaran yang diharapkan mampu menghasilkan lulusan yang kreatif, inovatif, terampil memecahkan masalah, mampu berpikir kritis, dan bernaluri kewirausahaan.
Untuk itu diadakan program penguatan kemampuan Kepala Sekolah yang difokuskan pada pengembangan dimensi-dimensi kompetensi dalam mengelola, memimpin, dan mensupervisi guru untuk mengembangkan pembelajaran berbasis kreativitas, inovasi, pemecahan masalah, berpikir kritis, dan naluri kewirausahaan. 
Sekolah sebagai pusat pengembangan budaya tak terlepas dari nilai-nilai budaya yang dianut oleh suatu bangsa. Bangsa Indonesia memiliki nilai-nilai budaya yang bersumber dari Pancasila, sebagai falsafah hidup berbangsa dan bernegara. Nilai-nilai itu meliputi: religius, kemanusiaan, kesatuan, kerakyatan, dan keadilan. Nilai-nilai ini dijadikan dasar filosofis dalam pengembangan kurikulum sekolah.
Kurikulum merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Dalam pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), Departemen Pendidikan Nasional telah menetapkan kerangka dasar Standar Kompetensi Lulusan (SKL), Standar Kompetensi (SK), dan Kompetensi Dasar (KD).
KTSP merupakan kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan. Pengembangannya harus berdasarkan satuan pendidikan, potensi daerah, atau karakteristik daerah, sosial budaya masyarakat setempat dan peserta didik.
Pemberlakuan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah menuntut pelaksanaan otonomi daerah dan wawasan demokrasi dalam penyelenggaraan pendidikan. Pengelolaan pendidikan yang semula bersifat sentralistik berubah menjadi desentralistik. Desentralisasi pengelolaan pendidikan dengan diberikannya wewenang kepada satuan pendidikan untuk menyusun kurikulumnya mengacu pada Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yaitu Pasal 3 tentang fungsi dan tujuan pendidikan nasional dan Pasal 35 mengenai standar nasional pendidikan.
Satuan pendidikan merupakan pusat pengembangan budaya. Oleh karena itu KTSP ini mengembangkan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa sebagai satu kesatuan kegiatan pendidikan yang terjadi di sekolah. Nilai-nilai yang dimaksud di antaranya: religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli sosial dan lingkungan. Nilai-nilai tersebut bukan sebagai materi pelajaran, akan tetapi nilai-nilai yang melingkupi dan terintegrasi dalam seluruh kegiatan pendidikan sebagai budaya sekolah.
Atas dasar itulah maka fungsi dan tugas satuan pendidikan dalam mengimplementasikan budaya dan karakter bangsa sangat didukung oleh kemampuan Kepala Sekolah sebagai pucuk pimpinan yang menentukan arah kebijakan sekolah.  Kepala Sekolah diharapkan mampu menerapkan materi-materi yang sudah dipelajari melalui program penguatan kepala sekolah.

Implementasi Pendidikan Karakter

Dalam Undang Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025, diamanatkan bahwa setiap upaya pembangunan harus selalu dipikirkan keterkaitan dan dampaknya terhadap pengembangan karakter bangsa.  Hal ini dapat dilihat dari misi pembangunan nasional yang memposisikan pendidikan karakter sebagai misi pertama dari delapan misi guna mewujudkan visi pembangunan nasional, yaitu terwujudnya karakter bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, dan bermoral berdasarkan Pancasila yang dicirikan dengan watak dan perilaku manusia dan masyarakat Indonesia yang beragam, beriman, dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi luhur, bertoleran, bergotongroyong, berjiwa patriotic, berkembang dinamis, dan berorientasi IPTEK.
Sejalan dengan semakin meningkatnya tuntutan masyarakat terhadap akuntabilitas sekolah, maka meningkat pula tuntutan terhadap para kepala sekolah. Mereka diharapkan mampu melaksanakan fungsinya baik sebagai manajer dan leader. Untuk meningkatkan kemampuan kepala sekolah dan tenaga kependidikan yang lain, pemerintah Indonesia telah menunjukkan good will, dengan adanya Kebijakan Menteri Pendidikan Nasional mengenai program penguatan kemampuan Kepala Sekolah. Program tersebut merupakan program yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan Kepala Sekolah dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya.  Ada tiga hal yang menyebabkan program diklat penguatan kemampuan Kepala Sekolah perlu dikembangkan.  Pertama, adanya tuntutan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 13 Tahun 2007 tentang Standar Kepala Sekolah/Madrasah, yang mengandung amanat bahwa Kepala Sekolah merupakan pimpinan tertinggi di sekolah dituntut memiliki lima dimensi kompetensi, yaitu dimensi kompetensi kepribadian, manajerial, kewirausahaan, supervisi, dan sosial, sehingga secara bertahap dan berkesinambungan kompetensi kepala sekolah harus ditingkatkan.  Kedua, adanya tuntutan masyarakat yang meinginginkan adanya peningkatan kualitas pembelajaran dalam rangka menghasilkan lulusan yang mampu bersaing, tidak hanya di tingkat local dan nasional melainkan juga di tingkat internasional.
Masyarakat menginginkan peningkatan kualitas pembelajaran tidak hanya dalam rangka menyiapkan peserta didik mengikuti ujian nasional, melainkan juga membuat peserta didik memiliki kecakapan hidup seperti kecakapan berpikir kritis, inovatif, dan kreatif.  Ketiga, adanya kebijakan Menteri Pendidikan Nasional, bahwa di masa mendatang pengembangan pembelajaran difokuskan pada pengembangan pembelajaran yang diharapkan mampu menghasilkan lulusan yang kreatif, inovatif, terampil memecahkan masalah, mampu berpikir kritis, dan bernaluri kewirausahaan.
Untuk itu diadakan program penguatan kemampuan Kepala Sekolah yang difokuskan pada pengembangan dimensi-dimensi kompetensi dalam mengelola, memimpin, dan mensupervisi guru untuk mengembangkan pembelajaran berbasis kreativitas, inovasi, pemecahan masalah, berpikir kritis, dan naluri kewirausahaan. 
Sekolah sebagai pusat pengembangan budaya tak terlepas dari nilai-nilai budaya yang dianut oleh suatu bangsa. Bangsa Indonesia memiliki nilai-nilai budaya yang bersumber dari Pancasila, sebagai falsafah hidup berbangsa dan bernegara. Nilai-nilai itu meliputi: religius, kemanusiaan, kesatuan, kerakyatan, dan keadilan. Nilai-nilai ini dijadikan dasar filosofis dalam pengembangan kurikulum sekolah.
Kurikulum merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Dalam pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), Departemen Pendidikan Nasional telah menetapkan kerangka dasar Standar Kompetensi Lulusan (SKL), Standar Kompetensi (SK), dan Kompetensi Dasar (KD).
KTSP merupakan kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan. Pengembangannya harus berdasarkan satuan pendidikan, potensi daerah, atau karakteristik daerah, sosial budaya masyarakat setempat dan peserta didik.
Pemberlakuan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah menuntut pelaksanaan otonomi daerah dan wawasan demokrasi dalam penyelenggaraan pendidikan. Pengelolaan pendidikan yang semula bersifat sentralistik berubah menjadi desentralistik. Desentralisasi pengelolaan pendidikan dengan diberikannya wewenang kepada satuan pendidikan untuk menyusun kurikulumnya mengacu pada Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yaitu Pasal 3 tentang fungsi dan tujuan pendidikan nasional dan Pasal 35 mengenai standar nasional pendidikan.
Satuan pendidikan merupakan pusat pengembangan budaya. Oleh karena itu KTSP ini mengembangkan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa sebagai satu kesatuan kegiatan pendidikan yang terjadi di sekolah. Nilai-nilai yang dimaksud di antaranya: religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli sosial dan lingkungan. Nilai-nilai tersebut bukan sebagai materi pelajaran, akan tetapi nilai-nilai yang melingkupi dan terintegrasi dalam seluruh kegiatan pendidikan sebagai budaya sekolah.
Atas dasar itulah maka fungsi dan tugas satuan pendidikan dalam mengimplementasikan budaya dan karakter bangsa sangat didukung oleh kemampuan Kepala Sekolah sebagai pucuk pimpinan yang menentukan arah kebijakan sekolah.  Kepala Sekolah diharapkan mampu menerapkan materi-materi yang sudah dipelajari melalui program penguatan kepala sekolah.